BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Kamis, 28 Januari 2016

INVESTOR MERANGKAP PREDATOR

SAYA JUGA BISA MENJADI T REX



Ada lho yg sejenis itu. Cuma ingin enaknya, tapi tak mau tanggung resikonya. Padahal semua bisnis sifatnya adalah PROYEKSI dan ESTIMASI. Bisa maju bisa mundur, bisa naik bisa turun.

Misal :
Butuh modal 1 milyar
Dapat saham 50% untuk sebuah proyek dgn proyeksi laba 1,2 milyar dan proyeksi umur proyek 18 bulan, dan estimasi pengembalian modal di bln ke 15.

Perjanjian tertulis dan notariil menyebut ttg saham 50% yg menjadi hak nya, bukan menyebut nominal.

Saat proyek terealisasi hanya menghasilkan laba 900 juta saja akibat banyak kendala di lapangan, eh si investor ngotot tetap minta hasil 600 juta (asumsi 50% dari business plan awal). Tidak peduli dgn prosentase yg ditulis didalam perjanjian. Padahal dia ikut kendalikan proyek sbg partner aktif dan ambil gaji bulanan lebih besar dari yg saya ambil.

Ada selisih 150 juta yg dia ributkan. Mainnya juga kasar, dgn menyandera uang keluar.

Hak pemilik tanah 20%, dan pemilik tanah tidak rewel.

Hak pengelola (pemilik keahlian) 30%, kisaran 270 juta. Tapi disandera predator, eh investor yg ngotot harus terima 600 juta sesuai PROYEKSI di Business Plan.

Ndasmu ah. Sugih koq goblok !! Gak ngerti arti kata PROYEKSI, itu bukan fix return. Mengandung peluang dan resiko. Coba kalau labanya bengkak jadi 2 milyar, memangnya anda tetap mau terima 600 juta??

Tak ladeni pak. Aku ini juga T Rex, bukan kadal yg bisa ente makan.

heheeeee ....

Minggu, 24 Januari 2016

STRATEGI MENGHADAPI PEMBELIAN KOLEKTIF

DASAR BUPATI BOKEK !!


www.JinProperti.Info -  Kalau ingat pengalaman ini benar-benar menggelikan sekaligus bikin gemas. Ceritanya waktu itu saya dapat info dari sobat properti yang ada di komunitas yang saya ikuti, bahwa ada koperasi PNS di sebuah kabupaten memerlukan sekitar 450 unit rumah untuk anggotanya. Mereka ingin menggandeng mitra pengembang guna merealisasikan program tersebut.

Dapat informasi seperti ini, tentu saja langsung saya respon. Pembelian kolektif seperti ini kalau beneran riil seperti dapat rejeki nomplok. Karena tanpa perlu melakukan pemasaran ritel, sudah tersedia captive market 450 orang. Tidak tanggung-tanggung, katanya saya langsung akan dipertemukan dengan pak Bupati yang bertindak selaku pembina koperasi. Selanjutnya saya diberikan jadwal bertemu pada hari H yang sudah ditentukan.

Tepat di hari H, saya on the way menuju kantor Bupati yang dimaksudkan. Arranger yang mengatur pertemuan itu terus melakukan kontak dengan ajudan bupati. Rupanya meeting point bergeser, tak jadi dilakukan di kantor Bupati, tapi jam 13 dijanjikan bertemu di sebuah Resto Pemancingan di pinggiran kota. Saya diminta menuju kesana. Saya cuma berangkat berdua dengan sopir.

Sesampai disana, rupanya pak Bupati sedang bersantap siang dengan rombongannya, lengkap dengan mobil patroli polisi pengawalnya. Saya diundang masuk ke sebuah saung, dimana disitu ada pak Bupati dan 2 orang yang saya tidak tahu apa jabatannya. Salah satunya sepertinya pengurus Koperasi.

Kami melakukan dialog dan negoisasi selama lebih kurang 30 menit, dan hasilnya tidak ada kesepakatan yang terjadi diantara kami. Terjadi deadlock karena syarat-syarat yang saya ajukan tak bisa dipenuhi pak Bupati. Dan sepertinya pak Bupati juga buru-buru pergi karena ada agenda lainnya.

Satu pesan terakhir pak Bupati saat bersalaman dengan saya dan berpisah masih saya ingat sampai sekarang; "Pak pengusaha, tolong bonnya dibantu diselesaikan ya ...? Makasih sebelumnya." Dan pak Bupati serta rombongannya berlalu. Huh, dasar Bupati bokek.

Jumlah tagihan makan siang yang harus saya bayar kalau tak salah ingat totalnya Rp 2.800.000,-. Celakanya disitu tidak melayani kartu kredit dan debit, mesti bayar tunai. Padahal uang tunai di dompet saya cuma 900 ribuan saja. Terpaksa sopir saya ditinggal sebagai sandera di pemancingan dan saya pergi nyetir sendiri mencari ATM mengambil uang tunai.

Sobat properti, kenapa tidak terjadi deal antara saya dan pak Bupati soal rencana pengadaan perumahan PNS? Karena menurut saya, peluang itu sifatnya masih 'abu-abu'. Pak Bupati mengatakan ada 900 pegawai kabupaten yang belum punya rumah,  jadi dianggap 50% nya berniat membeli rumah. Akan tetapi pak bupati tidak bisa memaksa mereka untuk membeli rumah di proyek yang akan kami kembangkan, sekalipun kami bermitra dengan koperasi Pegawai Pemda.

Pak Bupati hanya meminta saya membebaskan lahan barang 5-6 ha, nanti dibantu perijinannya. Meski statement 'dibantu' ini bisa jadi hanya percepatannya saja. Kalau biaya mana mungkin free? Selanjutnya kami diberi akses untuk melakukan promosi dan publikasi di internal pegawai kabupaten. Jika harganya murah dan lokasi bagus, niscaya mereka akan membeli.

Yeah, kalau cuma begini sih gak usah diajari pak Bupati. Dimana-mana kalau produk properti kita berlokasi bagus dan harga murah juga pasti diserbu konsumen. Jadi dimana letak sebuah opportunity yang bernama PEMBELIAN KOLEKTIF itu? Tidak ada.

Sobat properti, saya mau sharing poin-poin apa yang saya perjuangkan dengan pak Bupati, yang akhirnya gagal deal tersebut.

1. Pengembang dan Pengurus koperasi menanda-tangani perjanjian tripartit dengan pihak perbankan yang ditunjuk, guna membuka sebuah escrow account.

2. Pengembang akan mengeluarkan daftar harga jual konsumen untuk T-36/72 dan T-45/90 dimana harga berlaku fix, akan tetapi nomer kavling akan dipilih menyusul berdasarkan siteplan yang akan diterbitkan.

3. Pengembang dan pengurus koperasi akan menetapkan beberapa opsi pemilihan lokasi lahan, dengan syarat bahwa jarak maksimal adalah radius 10 km dari kantor Pemkab.

4. Pihak koperasi wajib memfasilitasi Pengembang dalam melakukan sosialisasi dan promosi penjualan program rumah PNS dari kantor ke kantor yang berada di lingkungan Pemkab.

5. Setiap PNS yang berminat membeli rumah wajib menyetorkan uang tanda jadi minimal 2.000.000 yang dimasukkan ke rekening escrow account, dimana berdasarkan perjanjian tripartit disebutkan bahwa uang tersebut baru bisa dipindah-bukukan ke rekening Pengembang apabila pihak Pengembang sudah membuktikan telah memiliki lahan perumahan lengkap dengan perijinannya. Selama Pengembang belum mampu membuktikan hal tersebut, maka uang tanda jadi tetap tersimpan di escrow account.

6. Pengembang wajib menyetorkan trust fund ke escrow account senilai 200.000 x jumlah konsumen yang membayar uang tanda jadi (misal; yang membayar uang tanda jadi 300 orang, maka trust fund yang disetor 200.000 x 300 = 60.000.000). Trust fund ini akan hangus apabila dalam waktu 9 bulan sejak perjanjian tripartit ternyata Pengembang belum memiliki lahan dan/atau belum memperoleh perijinan.

7. Pengembang diberi waktu selama maksimal 9 bulan sejak perjanjian tripartit, untuk membebaskan lahan dan mengurus perijinan. Apabila gagal melakukan kewajiban tersebut, maka trust fund yang sudah disetorkan ke escrow account dianggap hangus sebagai sanksi wanprestasi. Masing-masing konsumen akan dikembalikan uangnya senilai 2.000.000 ditambah 200.000.

8. Pemkab berjanji membantu proses penerbitan perijinan, dimana pengurusan perijinan sejak Ijin Lokasi s/d IMB harus terbit dalam waktu maksimal 3 bulan. Apabila proses perijinan memakan waktu lebih dari 3 bulan, maka secara otomatis kelebihan waktu mengurus perijinan dianggap sebagai toleransi kemunduran waktu pihak pengembang juga yang semula ditetapkan 9 bulan saja.

9. Apabila Pengembang sudah berhasil membebaskan lahan dan terbit perijinan, maka berdasarkan perjanjian tripartit semua uang tanda jadi konsumen bisa dipindah-bukukan ke rekening Pengembang. Konsumen tidak bisa membatalkan transaksinya, melainkan harus melanjutkan dengan membayar uang muka. Jika kondisinya memaksa konsumen batal, maka uang tanda jadi 2.000.000 tetap menjadi hak Pengembang sebagai sanksi pembatalan.

----------

Sobat properti, dari sekian poin yang saya usulkan kepada pak Bupati, beliau menolak poin 5 yang katanya memberatkan pihak konsumen. Berat apanya ya? Kalau memang punya niat beli rumah ya memang mesti sudah menyediakan uang muka dalam jumlah cukup. Kalau sekedar membayar uang tanda jadi saja tidak mampu dan dianggap berat, bagaimana nanti saat diminta membayar uang muka?

Rupanya pak Bupati ketakutan kalau uang tanda jadi milik konsumen yang sudah dibayarkan akan dibawa kabur oleh pengembang, padahal proyeknya tidak jadi direalisasi. (Kayaknya pak Bupati pernah baca kasus pengembang fiktif).

Saya jelaskan lagi kepada pak Bupati bahwa uang konsumen masih tersimpan aman di escrow account. Dan kami sebagai pengembang belum bisa menyentuh uang tersebut sebelum kami memiliki lahan dan perijinan. Tak mungkin uang konsumen kami bawa kabur.

Apalagi ada trust fund dari kami senilai 200.000 dikalikan tiap konsumen yang membayar uang tanda jadi. Anggap saja itu sebagai 'bunga' jika kami wanprestasi. Bunyi klausul perjanjian tripartit memang begitu. Konsumen menaruh uang 2.000.000 di escrow account dan dalam waktu 9 bulan kembali 2.200.000 jika kami wanprestasi. Bunga 10% selama 9 bulan lumayan deh, masih diatas bunga deposito.

Jadi semua pihak sama-sama aman. Yaitu konsumen tak perlu kuatir Pengembangnya kabur, karena kalau Pengembang kabur uangnya konsumen tetap kembali malah dapat tambahan bunga 10%. Dan bagi kami sebagai Pengembang, juga tak ada kekuatiran bahwa jika kami sudah membebaskan lahan, jangan-jangan nanti konsumennya kabur alias tak ada yang mau beli. Kami pasti repot jika harus menjual secara ritel.

Pelajaran yang dipetik dari kasus diatas ada 2, yaitu;

1. Jika terjadi sebuah ketidak-pastian, maka buatlah agar ketidak-pastian itu berpihak kepada anda. Aplikasinya ada di poin 5 dimana kami meminta konsumen yang 'mengaku' berminat membeli rumah harus membayar uang tanda jadi 2.000.000. Jika ternyata tak ada yang membeli, proyek kita batalkan. Jika yang membeli hanya 200 orang, kita beli luasan lahan menyesuaikan. Aplikasi soal ketidak-pastian harus berpihak kepada kita juga muncul di poin ke 9, dimana kalau sampai terjadi kita sudah terlanjur membebaskan lahan, ternyata konsumennya batal membeli, di klausul perjanjian disebutkan bahwa uang konsumen hangus menjadi milik kita.

2. Tak semua prospek lahan harus jadi dan harus dieksekusi. Banyak prospek dan peluang berseliweran didepan kita, tapi jika memang tidak bagus atau tidak aman buat kita, ya jangan memaksakan diri untuk dieksekusi. Begitu pak Bupati menolak poin 5, saya memilih 'no deal' ketimbang berjudi membeli lahan duluan dan ternyata tak ada yang membeli. Karena sejak awal saya menganggap peluang yang ada berupa PEMBELIAN KOLEKTIF, bukan ritel. Jangan memaksakan diri mengeksekusi peluang yang tidak bagus. Masih banyak koq bunga lain diluaran sana yang lebih harum dan menunggu kita petik.

Makanya, ayo hunting .... !!!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis